SA, BINTANG ITU MASIH MILIK KITA…
Dingin bersemayam di seluruh permukaan maya pada. Langit indah bertabur bintang. Sementara sang dewi malam masih asyik merenungi diri di peraduan abadinya. Temaram lampu taman memantulkan siluet samar dua anak manusia yang sedang duduk termenung. Punggung mereka beradu lekat. Pikirannya mengembara ke mana-mana, berpetualang tanpa batas seluas angkasa di atas sana. Kesunyian seakan setia menemani mereka.
“Sa…” tiba-tiba suara lirih Dafa
memecah kesunyian. Tak ada sahutan. Salsa tetap menerawang ke langit, tak
peduli. Dafa bergeser, tak lagi membelakangi Salsa. Perlahan direngkuhnya bahu
Salsa.
“Kamu nggak bisa terus-terusan
nyiksa diri kayak gini, Sa. Apa sih yang kita dapetin dengan bertindak bodoh
itu? Kita mau jadi anak baik-baik, atau mau bejat sekalipun, mereka toh tetap
nggak peduli, nggak mau ngerti kita”, Dafa berusaha meyakinkan Salsa.
Salsa tetap membisu, tanpa kata.
Kecewa, marah, sedih, membuncah campur aduk di dadanya. Setitik air bening
kembali mengalir di pipinya. Tanpa isak. Mata beningnya menyorotkan kelelahan
yang luar biasa.
Keheningan
kembali menyelimuti malam yang kian merambah naik. Sementara
bintang-bintang di langit tetap setia
menemani kegalauan mereka. Pikiran Salsa kembali merunut pada kejadian-kejadian
yang menimpa keluarganya selama ini.
Ibu
dan Ayahnya terlibat pertikaian yang tak ada ujung pangkalnya. Pertengkaran dan
pertengkaran, itu yang terjadi hampir tiap hari. Salsa tak tahu persis
penyebabnya. Yang dia tahu sekarang ibu menjadi wanita yang super sibuk seiring
dengan kemajuan usaha yang dikelolanya. Hampir 24 jam waktu ibu hanya untuk
bisnis, lupa dengan urusan anak dan suami. Dengan penghasilan yang jauh lebih
tinggi, ibu semakin tidak mau dan tidak mampu menghargai ayah. Sementara ayah
semakin terpuruk pada minuman keras semenjak posisinya sebagai kepala rumah
tangga diremehkan oleh ibu. Ayah bukannya memikirkan kemajuan pekerjaannya
tetapi malah sibuk dengan dunianya sendiri. Ujung-ujungnya Salsa dan Dafa yang
menjadi korban keegoisan mereka.
Jiwa remaja Salsa berontak
menghadapi semua ini. Salsa, gadis cantik tinggi semampai yang dulu dikenal
sebagai anak baik dan santun, dengan penuh kesadaran kini mulai berulah di
sekolah. Beberapa kali dia terkena hukuman karena tindakannya. Bolos pelajaran
yang dulu nggak pernah ada di kamus Salsa sekarang malah menjadi menu wajib.
Dia pun mulai berteman dengan anak-anak bengal di sekolah, bahkan dia mulai
mencoba ikut-ikutan nenggak minuman keras. Salsa berharap dengan kenakalannya
itu sekolah akan memanggil orang tuanya, namun nyatanya surat-surat panggilan
itu tak pernah mereka hiraukan. “Buat
apa aku susah-susah sekolah, jadi anak baik,
kalau orang tuaku sudah nggak peduli sama sekali”, itu yang mulai
tertanam di benak Salsa.
Sementara itu Dafa, saudara kembar
Salsa, merasa tak begitu terusik lagi dengan kondisi rumah mereka. Perlakuan
tidak adil telah terbiasa dia terima sejak kecil. Cacat fisik yang dibawa Dafa
sejak lahir ternyata tidak bisa diterima oleh orang tuanya.. Dafa pun sering
dijadikan kambing hitam bila ada sesuatu yang buruk menimpa keluarganya. Anak
pembawa sial, itu yang sering terlontar dari mulut ibu dan ayahnya. Ayah dan
ibunya seakan membuat dinding pembatas dengan Dafa. Neneklah yang selama ini
memberi limpahan kasih sayang dan perhatian pada Dafa. Hal ini
membentuk Dafa menjadi pribadi yang tegar dan penuh percaya diri. Tapi
dibalik kecacatan fisiknya itu, Dafa dikaruniai banyak kelebihan. Otaknya
cerdas . Selain itu dia pandai melukis
dan suaranya sangat bagus. Banyak prestasi yang diraihnya.
“Kenapa mesti kita yang ngalamin ini
Fa…, apa salah kita? Selama ini kita toh udah berusaha keras nyenengin Ayah dan
Ibu, tapi kenapa mereka tak mau ngerti dan sedikit ngalah untuk kita, egois
sekali. Ini benar-benar nggak adil, Fa. Aku malu tiap hari keluarga kita jadi
bahan gosip di mana-mana. Aku nggak mau orang selalu mandang kita dengan
pandangan kasihan tapi sebenarnya bibir mereka mencibir. Aku lelah dan muak
Fa…Kita nggak pernah minta dilahirin kan
Fa ” Salsa mengguncang-guncang bahu Dafa sambil terisak.
Dafa perlahan melepaskan cengkeraman tangan
Salsa dari bahunya. Ditatapnya lekat mata bening Salsa. Begitu cantik wajah
adik kembaranya ini. Namun pada wajah cantik itu tersimpan satu kerapuhan.
“Lihat
aku, Sa. Dari kecil kamu udah tahu gimana perlakuan Ayah dan Ibu padaku kan! Dulu aku sempat
marah, kecewa, dan sedih, tak bisa menerima semua ini . Kenapa mereka
memperlakukan aku dengan kamu beda banget.
Seolah aku bukan anaknya. Aku toh nggak pernah minta dilahirin cacat
kayak gini. Kalau nuruti hati aku udah frustasi sejak dulu, Sa.Untung ada nenek
yang slalu ngasihi dan membesarkan jiwaku. Aku ingin buktikan pada mereka,
dengan cacatku aku bisa jadi seseorang”. Dafa
mengatupkan rahangnya erat-erat, seakan ingin menunjukkan kegigihan
tekadnya.
“Kamu seharusnya masih bisa bersyukur Sa. Meski kita pernah tinggal dan berkembang
bersama dalam rahim ibu, dan juga dilahirkan dalam waktu yang hampir bersamaan
sebagai saudara kembar, Alloh memberi kita fisik yang sangat berbeda.
Kesempurnaan fisik sepenuhnya kau miliki. Sebagai perempuan, kamu mendekati
sempurna, Sa. Sedang untukku, Alloh ngasih aku tangan hanya satu, kaki panjang
sebelah, dan kepalaku besar melebihi ukuran normal manusia. Tapi aku masih
bersyukur Sa, Alloh telah memberiku kelebihan dalam bentuk lain. Aku nggak mau
terpuruk dan berlama-lama menyesali dan meratapi kekuranganku. Aku yakin tiap
orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Makanya aku nggak pernah ngiri sama kamu Sa. Aku
merasa bahagia lihat kamu bahagia, dan aku pun yakin kamu merasakan hal yang
sama. Kita sejiwa kan
Sa? Ayo Sa kita tunjukkan pada ayah ibu kalau kita masih tetap mampu bertahan
dengan kondisi buruk yang telah mereka ciptakan. Kita jangan sampai terbawa
arus kerusakan mereka!” Dafa menggenggam erat tangan Salsa.
Salsa
terkesima dengan ungkapan Dafa. Ya… selama ini dia sudah mendapatkan segalanya
dari ayah dan ibu, Sedangkan Dafa…., tapi dia begitu tegar dan ikhlas
menghadapi semuanya. “Betapa naifnya aku,
baru ngadepi masalah gini aja, udah mau ngerusak masa depan diri
sendiri, merasa orang yang paling sengsara di dunia, sibuk cari pelarian, ah
bodoh sekali”, kesah Salsa dalam hati.
“Kamu benar Fa…aku
nggak perlu nglakuin tindakan bodoh itu. Aku harusnya bercermin dan
belajar banyak dari kamu. Bantu aku Fa, aku ingin bangkit lagi, aku ingin jadi
Salsa yang dulu lagi, aku ingin tata masa depanku sendiri”, Salsa memegang erat
tangan Dafa seolah mencari kekuatan yang selama ini tidak dia miliki.
“Tentu
saja Sa, kamu adalah bagian dari hidupku. Aku nggak mau kamu sedih dan hancur
”, Dafa menyakinkan Salsa.
“Sa,
kemrin aku dan nenek telah merencanakan sesuatu untuk kita. Itu pun kalau kamu
setuju”, kata Dafa.
“Rencana
apa?” Salsa penasaran.
“Begini
Sa. Nenek sebenarnya juga nggak betah lagi ngelihat suasana di rumah kita.
Nasihat nenek udah nggak digubris lagi oleh ayah dan ibu. Makanya, untuk
menyelamatkan masa depan kita dan ketenangan nenek di hari tuanya, nenek
berencana mau pindah ke Malang.
Kemarin Om Firman telah menelepon nenek, Om
sangat setuju dengan rencana nenek. Om Firman kasihan sekali pada nenek dan
kita. Kebetulan Om Firman dapat tugas belajar ke Jepang selama 2 tahun. Jadi
kita bisa nemenin Tante Naila yang nggak ikut ke Jepang. Makhlum babynya kan baru berumur 3
bulan. Di sana
kita bisa memulai segalanya Sa”, Dafa dengan serius menjelaskan kepada Salsa.
“Aku
mau Fa, mau banget. Terus kapan kita ngurus surat pindah sekolah”, jawab Salsa penuh
semangat.
“Yah,
besoklah Sa, tapi kita harus bilang sendiri dulu pada ayah dan ibu. Sebenarnya
tadi nenek udah ngomongin hal ini ke ibu, kata ibu terserah. Kayaknya ibu udah
nggak peduli lagi. Kata nenek semoga hal ini bisa memberi kesempatan pada ayah dan ibu
menyelesaikan persoalan mereka, dengan cara mereka sendiri. Nenek yakin dengan
kepindahan kita ini akan sedikit membuka mata hati mereka”, kata Dafa tak kalah semangatnya.
Malam
semakin larut. Salsa dan Dafa masih sibuk membicarakan rencana kepindahan
mereka. Dan di ujung malam mereka baru hendak beranjak masuk rumah. Salsa
dengan penuh kasih menuntun Dafa yang berjalan tertatih-tatih. Senyum bahagia
berkembang di hati mereka. Sementara bintang-bintang di langit masih tetap pada
setianya memberi keindahan ke seluruh maya pada. “Sa, ternyata bintang-bintang
itu masih milik kita”, bisik Dafa pada saudara kembarnya.
(Pernah dimuat pada penerbitan pertama bulletin AKTIVITAS
Smaga)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar