Selamat Datang di Blog Belajar untuk Bisa...

Yakini bahwa belajar untuk bisa itu tak terbatas oleh ruang dan waktu...

Jumat, 09 November 2012

Cerpen

SA, BINTANG ITU MASIH MILIK KITA…

           Dingin bersemayam di seluruh permukaan maya pada. Langit indah bertabur bintang. Sementara sang dewi malam masih asyik merenungi diri di peraduan abadinya. Temaram lampu taman memantulkan siluet samar dua anak manusia yang sedang duduk termenung. Punggung mereka beradu lekat. Pikirannya mengembara ke mana-mana, berpetualang tanpa batas seluas angkasa di atas sana. Kesunyian seakan setia menemani mereka.
            “Sa…” tiba-tiba suara lirih Dafa memecah kesunyian. Tak ada sahutan. Salsa tetap menerawang ke langit, tak peduli. Dafa bergeser, tak lagi membelakangi Salsa. Perlahan direngkuhnya bahu Salsa.
            “Kamu nggak bisa terus-terusan nyiksa diri kayak gini, Sa. Apa sih yang kita dapetin dengan bertindak bodoh itu? Kita mau jadi anak baik-baik, atau mau bejat sekalipun, mereka toh tetap nggak peduli, nggak mau ngerti kita”, Dafa berusaha meyakinkan Salsa.
            Salsa tetap membisu, tanpa kata. Kecewa, marah, sedih, membuncah campur aduk di dadanya. Setitik air bening kembali mengalir di pipinya. Tanpa isak. Mata beningnya menyorotkan kelelahan yang luar biasa.
Keheningan kembali menyelimuti malam yang kian merambah naik. Sementara bintang-bintang  di langit tetap setia menemani kegalauan mereka. Pikiran Salsa kembali merunut pada kejadian-kejadian yang menimpa keluarganya selama ini.
Ibu dan Ayahnya terlibat pertikaian yang tak ada ujung pangkalnya. Pertengkaran dan pertengkaran, itu yang terjadi hampir tiap hari. Salsa tak tahu persis penyebabnya. Yang dia tahu sekarang ibu menjadi wanita yang super sibuk seiring dengan kemajuan usaha yang dikelolanya. Hampir 24 jam waktu ibu hanya untuk bisnis, lupa dengan urusan anak dan suami. Dengan penghasilan yang jauh lebih tinggi, ibu semakin tidak mau dan tidak mampu menghargai ayah. Sementara ayah semakin terpuruk pada minuman keras semenjak posisinya sebagai kepala rumah tangga diremehkan oleh ibu. Ayah bukannya memikirkan kemajuan pekerjaannya tetapi malah sibuk dengan dunianya sendiri. Ujung-ujungnya Salsa dan Dafa yang menjadi korban keegoisan mereka.
            Jiwa remaja Salsa berontak menghadapi semua ini. Salsa, gadis cantik tinggi semampai yang dulu dikenal sebagai anak baik dan santun, dengan penuh kesadaran kini mulai berulah di sekolah. Beberapa kali dia terkena hukuman karena tindakannya. Bolos pelajaran yang dulu nggak pernah ada di kamus Salsa sekarang malah menjadi menu wajib. Dia pun mulai berteman dengan anak-anak bengal di sekolah, bahkan dia mulai mencoba ikut-ikutan nenggak minuman keras. Salsa berharap dengan kenakalannya itu sekolah akan memanggil orang tuanya, namun nyatanya surat-surat panggilan itu tak pernah mereka hiraukan.  “Buat apa aku susah-susah sekolah, jadi anak baik,  kalau orang tuaku sudah nggak peduli sama sekali”, itu yang mulai tertanam di benak Salsa.
            Sementara itu Dafa, saudara kembar Salsa, merasa tak begitu terusik lagi dengan kondisi rumah mereka. Perlakuan tidak adil telah terbiasa dia terima sejak kecil. Cacat fisik yang dibawa Dafa sejak lahir ternyata tidak bisa diterima oleh orang tuanya.. Dafa pun sering dijadikan kambing hitam bila ada sesuatu yang buruk menimpa keluarganya. Anak pembawa sial, itu yang sering terlontar dari mulut ibu dan ayahnya. Ayah dan ibunya seakan membuat dinding pembatas dengan Dafa. Neneklah yang selama ini memberi limpahan kasih sayang dan perhatian pada Dafa.  Hal ini  membentuk Dafa menjadi pribadi yang tegar dan penuh percaya diri. Tapi dibalik kecacatan fisiknya itu, Dafa dikaruniai banyak kelebihan. Otaknya cerdas . Selain itu dia  pandai melukis dan suaranya sangat bagus. Banyak prestasi yang diraihnya.
            “Kenapa mesti kita yang ngalamin ini Fa…, apa salah kita? Selama ini kita toh udah berusaha keras nyenengin Ayah dan Ibu, tapi kenapa mereka tak mau ngerti dan sedikit ngalah untuk kita, egois sekali. Ini benar-benar nggak adil, Fa. Aku malu tiap hari keluarga kita jadi bahan gosip di mana-mana. Aku nggak mau orang selalu mandang kita dengan pandangan kasihan tapi sebenarnya bibir mereka mencibir. Aku lelah dan muak Fa…Kita nggak pernah minta dilahirin kan Fa ” Salsa mengguncang-guncang bahu Dafa sambil terisak.      
 Dafa perlahan melepaskan cengkeraman tangan Salsa dari bahunya. Ditatapnya lekat mata bening Salsa. Begitu cantik wajah adik kembaranya ini. Namun pada wajah cantik itu tersimpan satu kerapuhan.
“Lihat aku, Sa. Dari kecil kamu udah tahu gimana perlakuan Ayah dan Ibu padaku kan! Dulu aku sempat marah, kecewa, dan sedih, tak bisa menerima semua ini . Kenapa mereka memperlakukan aku dengan kamu beda banget.  Seolah aku bukan anaknya. Aku toh nggak pernah minta dilahirin cacat kayak gini. Kalau nuruti hati aku udah frustasi sejak dulu, Sa.Untung ada nenek yang slalu ngasihi dan membesarkan jiwaku. Aku ingin buktikan pada mereka, dengan cacatku aku bisa jadi seseorang”. Dafa  mengatupkan rahangnya erat-erat, seakan ingin menunjukkan kegigihan tekadnya.
 “Kamu seharusnya masih bisa bersyukur  Sa. Meski kita pernah tinggal dan berkembang bersama dalam rahim ibu, dan juga dilahirkan dalam waktu yang hampir bersamaan sebagai saudara kembar, Alloh memberi kita fisik yang sangat berbeda. Kesempurnaan fisik sepenuhnya kau miliki. Sebagai perempuan, kamu mendekati sempurna, Sa. Sedang untukku, Alloh ngasih aku tangan hanya satu, kaki panjang sebelah, dan kepalaku besar melebihi ukuran normal manusia. Tapi aku masih bersyukur Sa, Alloh telah memberiku kelebihan dalam bentuk lain. Aku nggak mau terpuruk dan berlama-lama menyesali dan meratapi kekuranganku. Aku yakin tiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Makanya  aku nggak pernah ngiri sama kamu Sa. Aku merasa bahagia lihat kamu bahagia, dan aku pun yakin kamu merasakan hal yang sama. Kita sejiwa kan Sa? Ayo Sa kita tunjukkan pada ayah ibu kalau kita masih tetap mampu bertahan dengan kondisi buruk yang telah mereka ciptakan. Kita jangan sampai terbawa arus kerusakan mereka!” Dafa menggenggam erat tangan Salsa.
Salsa terkesima dengan ungkapan Dafa. Ya… selama ini dia sudah mendapatkan segalanya dari ayah dan ibu, Sedangkan Dafa…., tapi dia begitu tegar dan ikhlas menghadapi semuanya. “Betapa naifnya aku,  baru ngadepi masalah gini aja, udah mau ngerusak masa depan diri sendiri, merasa orang yang paling sengsara di dunia, sibuk cari pelarian, ah bodoh sekali”,  kesah Salsa dalam hati.
“Kamu benar Fa…aku  nggak perlu nglakuin tindakan bodoh itu. Aku harusnya bercermin dan belajar banyak dari kamu. Bantu aku Fa, aku ingin bangkit lagi, aku ingin jadi Salsa yang dulu lagi, aku ingin tata masa depanku sendiri”, Salsa memegang erat tangan Dafa seolah mencari kekuatan yang selama ini tidak dia miliki.
“Tentu saja Sa, kamu adalah bagian dari hidupku. Aku nggak mau kamu sedih dan hancur ”, Dafa menyakinkan Salsa.
“Sa, kemrin aku dan nenek telah merencanakan sesuatu untuk kita. Itu pun kalau kamu setuju”, kata Dafa.
“Rencana apa?” Salsa penasaran.
“Begini Sa. Nenek sebenarnya juga nggak betah lagi ngelihat suasana di rumah kita. Nasihat nenek udah nggak digubris lagi oleh ayah dan ibu. Makanya, untuk menyelamatkan masa depan kita dan ketenangan nenek di hari tuanya, nenek berencana mau pindah ke Malang. Kemarin Om Firman telah menelepon nenek, Om sangat setuju dengan rencana nenek. Om Firman kasihan sekali pada nenek dan kita. Kebetulan Om Firman dapat tugas belajar ke Jepang selama 2 tahun. Jadi kita bisa nemenin Tante Naila yang nggak ikut ke Jepang. Makhlum babynya kan baru berumur 3 bulan. Di sana kita bisa memulai segalanya Sa”, Dafa dengan serius menjelaskan kepada Salsa.
“Aku mau Fa, mau banget. Terus kapan kita ngurus surat pindah sekolah”, jawab Salsa penuh semangat.
“Yah, besoklah Sa, tapi kita harus bilang sendiri dulu pada ayah dan ibu. Sebenarnya tadi nenek udah ngomongin hal ini ke ibu, kata ibu terserah. Kayaknya ibu udah nggak peduli lagi. Kata nenek semoga hal ini bisa  memberi kesempatan pada ayah dan ibu menyelesaikan persoalan mereka, dengan cara mereka sendiri. Nenek yakin dengan kepindahan kita ini akan sedikit membuka mata hati mereka”, kata Dafa  tak kalah semangatnya.
Malam semakin larut. Salsa dan Dafa masih sibuk membicarakan rencana kepindahan mereka. Dan di ujung malam mereka baru hendak beranjak masuk rumah. Salsa dengan penuh kasih menuntun Dafa yang berjalan tertatih-tatih. Senyum bahagia berkembang di hati mereka. Sementara bintang-bintang di langit masih tetap pada setianya memberi keindahan ke seluruh maya pada. “Sa, ternyata bintang-bintang itu masih milik kita”, bisik Dafa pada saudara kembarnya.

(Pernah dimuat pada penerbitan pertama bulletin AKTIVITAS Smaga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar